Selasa, 23 Februari 2010

makna actio pauliana sebagai perlindungan hukum kreditor dalam kepailitan

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan hal tersebut kenyataan yang ada pada masa sekarang ini pertumbuhan ekonomi di negara kita yang berkembang cukup pesat, menyebabkan minat masyarakat untuk berusaha dan terlibat dalam pembangunan ekonomi juga mulai nampak. Hal ini ditandai dengan banyak munculnya perusahaan. Dalam dunia usaha suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa, sehingga perusahaan tersebut tidak mampu membayar utang-utangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha (Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994:1).
Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan itu masih dapat membayar kembali. Perusahaan yang seperti ini biasanya disebut sebagai perusahaan yang solvabel, artinya perusahaan yang mampu membayar utangnya. Sebaliknya, jika suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable, artinya tidak mampu membayar. Keadaan yang demikian ini banyak muncul pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran utang kepada Kreditor-kreditornya. Disinilah diperlukan peranan hukum kepailitan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut baik melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang oleh pihak Debitor kepada Kreditor maupun dengan jalan Debitor dipailitkan.
Di Indonesia, secara formal hukum kepailitan sudah ada dengan adanya Undang-Undang khusus yaitu Faillisement Verordening (FV) Staatblad 1905 Nomor 217 jis Tahun 1906 Nomor 348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (FV) yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang pada tahun 2004 diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sebagai salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan solusi berupa penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap para pihak apabila Debitor dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai berikut:
1. kepailitan adalah sebagai lembaga pemberi jaminan kepada Kreditor bahwa Debitor tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada Kreditor.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberikan perlindungan kepada Debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh Kreditor-kreditornya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata (Sri Rejeki Hartono dalam Imran Nating, 2005:9).

Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh Debitor terhadap Kreditor-Kreditornya dengan kedudukan yang proposional. Hubungan kedua pasal tersebut yaitu, kekayaan Debitor (Pasal 1131 KUHPerdata) merupakan jaminan bersama bagi semua Kreditornya ( Pasal 1132 KUHPerdata) secara proporsional, kecuali Kreditor dengan hak mendahului ( preferen ) seperti Kreditor pemegang hak kebendaan.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para Kreditor atas kekayaan Debitor oleh Kurator (Mosgan Situmorang dalam Imran Nating, 2005:9). Kepailitan tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh Kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan Debitor dapat dibagikan kepada semua Kreditor sesuai dengan hak masing-masing karena kepailitan ada untuk menjamin para Kreditor memperoleh hak-haknya atas harta Debitor Pailit.
Seorang Debitor yang berhutang kepada beberapa Kreditor dan diketahui cedera janji, maka para Kreditor akan berusaha siapa yang paling cepat mendapatkan pembayaran paling banyak dengan berbagai cara, baik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, maupun dengan cara-cara yang mendekati tindak pidana. Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan yang mengatur tentang kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban Debitor yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban Kreditor.
Menghindari hal yang telah diuraikan diatas, dan untuk menghentikan sitaan terpisah dan/atau eksekusi terpisah oleh para Kreditor masing-masing dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan Debitor dapat dibagikan kepada semua Kreditor sesuai dengan hak masing-masing pada saat putusan kepailitan diucapkan, diletakkan sitaan konservatoir secara umum pada seluruh kekayaan kekayaan Debitor yang termasuk harta pailit, sedangkan pada saat insolvensi dimulai sitaan ini bersifat sama dengan sitaan eksekutoir. Kekayaan Debitor yang tidak masuk ke dalam harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Faillitssement Verordening atau Undang-Undang Kepailitan yang diumumkan dalam staatblad 1905 No. 217 juncto Staatblad 1906 No. 348 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan pada tahun 2004 diubah dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak disita.
Uraian diatas menjelaskan bahwa dimungkinkan adanya suatu tindakan Debitor yang meniadakan arti Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu Debitor yang merasa bahwa ia akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum untuk memindahkan hak atas sebagian kekayaannya atau secara lain merugikan Kreditornya. Menyikapi hal ini Undang-Undang telah mengatur bagaimana cara untuk melindungi Kreditor dari tindakan hukum Debitor yang merugikan Kreditor. Istilah yang dimaksud sebagai perlindungan Kreditor adalah actio pauliana yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata, sedangkan peraturan umum yang mengatur actio pauliana untuk kepailitan terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat istilah actio pauliana dalam kepailitan dan membahasnya dalam bentuk skripsi. Karena dapat diprediksikan semakin banyak dan semakin rumit kasus yang dihadapi dalam proses kepailitan, maka penulis mengangkat berbagai permasalahan yang timbul di atas menjadi sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul : “MAKNA ACTIO PAULIANA SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR DALAM KEPAILITAN”.

Rumusan Masalah
1. Apakah latar belakang timbulnya actio pauliana dalam kepailitan?
2. Apakah ada perbedaan makna actio pauliana dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
3. Apakah akibat hukum actio pauliana dalam kepailitan?


Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisa latar belakang yang menimbulkan actio pauliana dalam kepailitan;
2. Untuk mengkaji dan menganalisa perbedaan makna actio pauliana dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum actio pauliana dalam kepailitan.

Metode Penelitian
Metodologi merupakan cara kerja menemukan atau memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil yang konkrit. Menggunakan suatu metode dalam melakukan suatu penelitian merupakan ciri khas dari ilmu untuk mendapatkan suatu kebenaran hukum. Penggunaan metode dalam penulisan suatu karya tulis ilmiah dapat digunakan untuk menggali, mengolah dan merumuskan bahan-bahan hukum yang diperoleh sehingga mendapat kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode yang tepat diharapkan dapat memberikan alur pemikiran secara berurutan dalam usaha pencapaian pengkajian. Oleh karena itu, suatu metode digunakan agar dalam skripsi ini dapat mendekati suatu kesempurnaan yang bersifat sistematik dalam penulisannya. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

Pendekatan Masalah

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Adapun peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk memecahkan isu hukum yang timbul adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan beberapa Undang-Undang atau peraturan lainnya yang terkait;
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 137).

Bahan Hukum
Bahan hukum merupakan sarana dari suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Adapun yang termasuk sebagai bahan hukum primer yang akan dipergunakan dalam mengkaji setiap permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi ini meliputi literatur-literatur ilmiah, buku-buku, serta surat kabar yang bertujuan untuk mempelajari isi dari pokok permasalahan yang dibahas (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
c. Bahan non hukum
Bahan non hukum sebagai penunjang dari sumber bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu bahan yang diambil dari internet, kamus, serta wawancara (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 165).

Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penulis menjawab permasalahan dengan mengumpulkan dan menganalisa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum yang berhubungan dengan penulisan ini.

Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum merupakan sebuah proses yang digunakan untuk menemukan jawaban dari pokok permasalahan yang ada. Langkah-langkah yang digunakan adalah : (1) mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; (2) pengumpulan bahan hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi dan juga bahan-bahan non-hukum; (3) melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan yang telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:171).
Metode yang digunakan untuk menarik kesimpulan adalah metode deduktif yaitu dengan cara pengambilan kesimpulan dari pembahasan yang bersifat umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjawab rumusan masalah yang ada.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjanjian
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata tentang Perikatan, karena perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan disamping Undang-Undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Dalam Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan bahwa “Persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, akan menimbulkan perikatan dan menimbulkan hak dan kewajinban bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut”. Definisi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut hanya mengenai perjanjian sepihak dimana satu orang mengikatkan dirinya pada orang lain tetapi orang lain tidak harus mengikatkan dirinya pada pihak pertama. Beberapa ahli hukum memberikan definisi tentang perikatan, yaitu:
1. Prof. Subekti (dalam Hasanudin Rahman, 1998:135) memiliki pandangan berbeda: Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa tersebut munculah hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

2. Menurut Abdul Kadir Muhammad (1996: 78) Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan,”
3. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro (2000:12) merumuskan lebih lengkap lagi, yaitu: Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

4. Prof. Dr Sri Soedewi Masychoen Sofwan (dalam A. Qirom Syamsudin Meliala, 1985: 7) menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya dengan seseorang lain atau lebih”.
Suatu perjanjian pada umumnya dapat dibuat secara bebas tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, namun untuk pengamanan dan kepastian hukum, perjanjian lebih sering dilakukan secara tertulis baik dengan akta otentik maupun dengan akta dibawah tangan. Dalam bentuk apapun itu, suatu perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian harus memiliki kemauan yang bebas untuk membuat suatu perjanjian dengan pihak lain dan kemauan tersebut dituangkan dalam kata sepakat diantara para pihak mengenai bentuk dan isi pokok dari perjanjian yang dibuatnya. Dengan kata lain bahwa para pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perikatan harus bebas dari paksaan, penipuan, maupun tekanan dari pihak manapun.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Para pihak yang membuat suatu perjanjian haruslah orang yang cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata seseorang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum diantaranya adalah : orang yang belum dewasa, mereka yang berada dibawah pengampuan dan ketentuan pasal 330 KUHPerdata menjelaskan tentang arti belum dewasa dengan kriteria : belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, tidak lebih dahulu telah kawin, berada dibawah kekuasaan orang tua dan berada dibawah perwalian. Selain hal tersebut, ketentuan yang terdapat pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa: Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu;
Dalam membuat suatu perjanjian, haruslah terdapat suatu hal tertentu yang menjadi objek atau pokok perjanjian dan hal tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas.
4. Suatu sebab yang halal.
Undang-Undang menghendaki adanya suatu sebab yang diperbolehkan, sebab dibuatnya suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Syarat pertama dan kedua diatas dinamakan syarat-syarat subjektif. Salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh salah satu pihak artinya salah satu pihak dapat melakukan pembatalan. Pihak yang membatalkan disini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum.
Syarat ketiga dan keempat disebut syarat-syarat objektif, yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian menjadi batal demi hukum (null and void). Batal demi hukum artinya perjanjian yang dibuat para pihak tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan perjanjian itu sehingga masing-masing pihak tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian karena perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.
Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jika telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan Undang-Undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata juga menegaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian dinyatakan sah selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) juga tidak boleh bertentangan dengan asas-asas sebagai berikut:
1. Asas konsensualisme, yaitu kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri;
2. Asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa para pihak bebas menentukan akan membuat perjanjian dengan siapa, bebas menentukan isi dan bentuk perjanjian, bebas menentukan jangka waktu perjanjian;
3. Asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang mengikatkan diri;
4. Asas itikad baik, yaitu suatu perjanjian yang dibuat harus dilandasi dengan itikad baik diantara para pihak.
2.1.2 Pengertian Wanprestasi
Debitor di dalam suatu perikatan, berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Apabila Debitor tidak melaksanakan kewajiban tersebut, maka Debitor dianggap melakukan wanprestasi (ingkar janji). Suatu perjanjian utang piutang, seperti pada perjanjian lainnya, biasanya diperinci hal-hal yang apabila dilakukan oleh salah satu pihak, maka terjadilah wanprestasi dan menyebabkan pihak lain dapat memutuskan perjanjian tersebut.
Menurut Subekti (1979:44) bahwa wanprestasi adalah :
Apabila si berutang tidak melakukan apa yang diperjanjikan maka ia ingkar janji. Atau ia melanggar perjanjian bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak dilaksanakan. Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang berarti “prestasi”.

Menurut M. Yahya Harahap (1986:60) bahwa wanprestasi adalah :
Pelaksanaan kewajiban yang tidak layak. Kalau begitu seorang Debitor disebut berada dalam keadaan wanprestasi apabila ia telah lalai melaksanakan prestasinya, sehingga terlambat dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menentukan sepatutnya atau selayaknya.

Perbedaan wanprestasi seperti tersebut diatas, menimbulkan suatu permasalahan apakah Debitor yang tidak memenuhi prestasi tepat pada waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sebab apabila pada saat jatuh tempo si Kreditor belum memenuhi prestasi sama sekali, wujudnya adalah sama saja kalau Kreditor tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Pembatasan antara terlambat dan tidak memenuhi prestasi sama sekali tersebut adalah sebagai berikut, dalam hal Debitor tidak mampu memenuhi prestasinya maka dikatakan Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan apabila prestasi Debitor masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan kedalam terlambat memenuhi prestasi. Apabila Debitor memenuhi prestasi secara tidak baik, ia dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki dan apabila telah tidak dapat diperbaiki lagi, dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Debitor dalam hal melakukan wanprestasi (ingkar janji), maka Kreditor dapat menuntut:
1. Pemenuhan perikatan;
2. Pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan dan ganti rugi (Subekti, 2001:148)
Menentukan kapan saat terjadinya suatu wanprestasi, KUHPerdata memberikan pemecahannya yaitu dengan penetapan lalai. Yang dimaksud dengan penetapan lalai adalah pesan Kreditor kepada Debitor kapan selambat-lambatnya ia ( Kreditor) mengharapkan pemenuhan prestasinya, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan lalai atau wanprestasi (Pasal 1238 KUHPerdata). Dengan jalan ini Kreditor menentukan dengan pasti pada saat kapankah Debitor dalam keadaan wanprestasi. Sejak saat itu pula Debitor harus menanggung segala akibat yang merugikan Kreditor karena diakibatkan tidak dipenuhinya prestasi.

2.2 Pengertian Perlindungan Hukum
Menurut Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S.H., bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itu yang disebut sebagai hak. Setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang (Hermansyah, 2007:131).
Secara filosofi perlindungan hukum bermuara pada suatu bentuk kepastian hukum yang diberikan oleh Pemerintah. Kepastian hukum oleh aliran yuridis dogmatis dipandang sebagai ilmu hukum positif. Tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukumnya, yang cenderung melihat hukum sebagai suatu yang mandiri. Penganut pemikiran ini, hukum tidak lain hanya kumpulan aturan yang tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Adanya perlindungan hukum dalam bentuk suatu kepastian hukum dapat dilihat dari beberapa aspek dasar, yaitu :
a. Aspek tujuan hukum, aliran normatif dogmatik beranggapan bahwa pada asas tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum (Ahmad Ali, 1999:84).
b. Aspek perlindungan dalam penegakan hukum, dalam hal ini hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan (Sudikno Mertokusumo, 1986:130).

2.3 Kepailitan
2.3.1 Pengertian Kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Apabila ditelusuri lebih mendasar istilah pailit dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda, Prancis, Latin, dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam Bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Dalam Bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam Bahasa Prancis dinamakan “lefaili”. Kata kerja “failir” berarti gagal. Dalam Bahasa Inggris dikenal “to fail” dengan arti yang sama dengan kata “failure”. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-kata “bankrupt” dan “bankruptcy” (Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso,1994: 18-19 dan Zainal Asikin dalam Rachmadi Usman,2004:11).
Pengertian Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Menurut Henry Campbell Black dalam Munir Fuady (2005:8), menyatakan apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kepailitan? Arti yang orisinil dari bangkrut atau pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabuhi pihak Kreditornya. Dalam ensiklopedi ekonomi keuangan perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya (Abdurrahman. A dalam Munir Fuady,2005:8)
Umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta Debitor dan para Kreditornya atau agar dicapainya perdamaian antar Debitor dan Kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para Kreditor (Munir Fuady, 2005: 8)
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya (Djohansah dalam Imran Nating, 2005: 2).
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan Debitor untuk kepentingan semua Kreditornya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan Debitor oleh Kurator kepada semua Kreditornya dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Melalui sita umum maka dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para Kreditor secara sendiri-sendiri (Fred B.G. Tumbuan dalam Imran Nating, 2005:4).

Para Kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorium) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUHPerdata.
2.3.2 Syarat-Syarat Permohonan Penyataan Pailit
Menurut Jono (2008:4) syarat-syarat permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, antara lain:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. syarat adanya dua Kreditor atau lebih (concursus creditorium);
syarat bahwa Debitor harus mempunyai minimal dua Kreditor, sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1132 KUHPerdata. Dengan adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan perlunasan utang-utang Debitor kepada Kreditor-Kreditor dapat dilakukan secara seimbang dan adil.
2. syarat harus adanya utang;
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tidak mendefinisikan sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda-beda.
Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatu artikan dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Definisi utang yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 jelaslah harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena Undang-Undang misalnya pajak atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.
3. syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa Kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut Debitor untuk memenuhi prestasinya. Syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld tanpa haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyatan pailit. Misalnya utang yang lahir karena perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada Kreditor untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun Debitor mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, Kreditor tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, Kreditor tidak berhak memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.
2.3.3 Pihak-Pihak Yang Berwenang Mengajukan Pailit
Menurut Jono (2008:12) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pihak yang dapat mengajukan pailit adalah sebagai berikut:
1. Debitor
Undang-Undang memungkinkan seorang Debitor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika Debitor yang terkait dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
2. Seorang Kreditor atau lebih
Sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Debitornya adalah Kreditor konkuren, Kreditor preferen, ataupun Kreditor separatis.
3. Kejaksaan
Permohonan pailit terhadap Debitor juga dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum, secara tegas dinyatakan bahwa wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum.

4. Bank Indonesia
Permohonan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
5. Badan Pengawas Pasar Modal ( BAPEPAM )
Isi dari Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”dalam hal Debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal”. Hal inilah yang menjadi patokan bahwa Badan Pengawas Pasar modal mempunyai wewenang dalam kepailitan.
6. Menteri Keuangan.
Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, dengan maksud untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap usaha-usaha tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

2.4 Kreditor
Pengertian Kreditor menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.
2.4.1 Pengertian Kreditor Separatis
Secara etimologi, istilah separatis berasal dari bahasa Inggris dan Belanda, yaitu separatis yang berarti seseorang yang berada diluar kepailitan dan juga tidak turut memikul ongkos-ongkos (N.E Agira. Dkk dalam Liliek Istiqomah, 2006: 20). Kreditor separatis adalah Kreditor yang karena sifatnya sebagai pemilik suatu hak yang dilindungi secara super preferent serta dianggap berdiri sendiri dari penjualan barang agunan yang terpisah dari harta pailit pada umumnya (Munir Fuady, 2005:99).
Definisi lain Kreditor separatis adalah Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004:99). Kreditor separatis ini selain memegang hak jaminan kebendaan juga dapat bertindak sendiri. Golongan ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit Debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan Debitor (Elijana dalam Imran Nating, 2005:48). Tagihan mereka tidak jatuh pada boedel pailit tetapi mereka dapat langsung melakukan eksekusi atas benda-benda yang menjadi jaminan bagi mereka (Sudargo Gautama,1998:91).
Ada sedikit perbedaan antara Kreditor separatis dalam kepailitan dan PKPU. Pada prinsipnya, kepailitan maupun PKPU tidak berlaku bagi Kreditor separatis (Pasal 55 untuk Kepailitan dan Pasal 244 ayat (1) huruf a untuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Meskipun terhadap keduanya dikenakan kewajiban penangguhan eksekusi jaminan utang. Demikian juga pihak Kreditor separatis (termasuk Kreditor yang di istimewakan ) tidak berhak untuk ikut voting dalam perdamaian PKPU (Pasal 162 dan Pasal 151 serta Pasal 281 dan Pasal 286 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Dalam kepailitan, Kreditor separatis harus mengajukan tagihannya untuk diverifikasi tanpa harus melepaskan kedudukannya selaku Kreditor preferen (termasuk juga Kreditor yang diistimewakan ). Dia tidak mempunyai hak suara dalam perdamaian, kecuali dia melepaskan haknya sebagai Kreditor separatis sehingga menjadi Kreditor konkuren (Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Sementara dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, Kreditor separatis mempunyai hak suara dalam perdamaian (Munir Fuady, 2005:178-179).
Kreditor seperti ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil piutangnya, sedang kalau ada sisanya maka dimasukkan dalam kas Kurator sebagai boedel pailit (harta pailit). Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, Kreditor tersebut untuk tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai Kreditor bersaing (konkuren) (Rajagukguk dalam Imran Nating, 2005:48).
2.4.2 Pengertian Kreditor Preferen
Kreditor preferen atau Kreditor dengan hak istimewa adalah Kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan Pasal 1149 KUHPerdata (Man S.Sastrawidjaja, 2006: 127), atau dengan kata lain Kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dulu dari penjualan harta pailit. Kreditor istimewa berada dibawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa gadai dan hipotik. Hak istimewa dalam Pasal 1134 KUHPerdata adalah suatu hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seseorang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewanya, kecuali dalam hal-hal dimana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya (Imran Nating, 2005:51).
2.4.3 Pengertian Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan Debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para Kreditor pemegang hak jaminan dan para Kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing Kreditor konkuren tersebut (berbagi secara pari passu dan pro rata parte) Kreditor konkuren dikenal juga dengan istilah Kreditor bersaing. (Imran Nating, 2004:52).
Pasal 1132 KUHPerdata, menyatakan bahwa:
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurur besar kecilnya tagihan masing-masing, kecuali apabila diantara berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Ketentuan diatas dapat menjelaskan bahwa terdapat persamaan hak, persamaan kedudukan para Kreditor terhadap (harta) seorang Debitor, tidak ada yang dilebihkan, sekalipun diantara mereka mungkin ada yang mempunyai tagihan yang lebih tua, lebih dahulu adanya daripada yang lain. Konkritnya seorang pada asasnya tidak berhak menuntut perlunasan lebih dahulu tagihannya atas dasar bahwa tagihannya lahir lebih dahulu dari pada yang lain (J.Satrio, 2007:6-7).

2.5 Pengertian Debitor
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Debitor adalah Orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang perlunasannya dapat ditagih dimuka Pengadilan. Debitor dalam arti sempit adalah pihak yang memiliki utang yang timbul semata-mata dari perjanjian utang-piutang saja. Sedangkan yang dimaksud dengan Debitor dalam pengertian luas adalah adalah pihak yang memiliki kewajiban membayar sejumlah uang yang timbulnya kewajiban itu dapat terjadi karena sebab apa pun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena Undang-Undang. US Bankrupcy Code: bagi jenis Debitor yang berbeda berlaku aturan-aturan Bankruptcy yang berbeda pula. Menurut UUK aturan kepailitan bagi perorangan, baik perorangan itu bukan pengusaha maupun pengusaha, dan bagi perusahaan Debitor, baik perusahaan Debitor yang tergolong usaha besar maupun yang tergolong usaha kecil atau menengah (UKM), serta bagi badan hukum lain (koperasi dan yayasan) dan bentuk-bentuk hukum lain (persekutuan), sama saja aturan mainnya.
(http://hernathesis.multiply.com/reviews/item/16, diakses tanggal 10 Maret 2009).

2.6 Pengertian Kurator
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diputuskan, Debitor Pailit kehilangan haknya untuk mengurus dan mengelola harta milik Debitor yang termasuk dalam boedel kepailitan. Urusan ini harus diserahkan pada Kurator, Kuratorlah yang melakukan pengurusan dan pemberesan harta kepailitan tersebut. Oleh karena itu, dalam putusan pernyataan kepailitan ditetapkan pula siapa yang menjadi Kurator. Dahulu, yang menjadi Kurator hanya Balai Harta Peninggalan (BHP). Kini yang menjadi Kurator tidak hanya BHP, tetapi bisa pula Kurator lain selain BHP, hal ini ditegaskan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kemungkinan lain yaitu dalam hal Debitor dan Kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator lain kepada Pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai Kurator. Istilah Kurator hanya dikenal dalam kepailitan, sedangkan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dikenal dengan istilah “pengurus”.
Jabatan Kurator akan membuka lapangan kerja baru, namun perlu dicatat bahwa seorang Kurator harus berpengetahuan dan berpengalaman khusus. Nampaknya, yang dapat dengan mudah menjabat sebagai Kurator adalah para akuntan dan para ahli hukum. Kelompok ini mempunyai bekal pengetahuan hukum perdata, termasuk pengetahuan dalam hukum transaksi komersial. Meskipun begitu tentulah harus diingat bahwa tanggung jawab dan resiko profesi (professional liability) yang diembannya sungguh berat (Kartini Muljadi dalam Rachmadi Usman, 2004:76). Menurut Pasal 70 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Kurator lain adalah orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus/ atau membereskan harta pailit, dan terdaftar pada kementerian yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Definisi yang terdapat dalam “standar profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia” menyatakan bahwa Kurator adalah perseorangan atau persekutuan perdata yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diperlukan untuk mengurus dan membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia (sekarang Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia).
Ketentuan-ketentuan diatas berdasarkan peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.M.08.10.05.10 Tahun 1998 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yang ditetapkan dan diberlakukan pada tanggal 22 september 1998 sebagai berikut:
1. persyaratan untuk didaftar sebagai Kurator dan pengurus:
a. perorangan
1. berdomosili di Indonesia;
2. memiliki surat tanda lulus ujian yang diselenggarakan oleh asosiasi Kurator dan pengurus Indonesia (AKPI).
b. persekutuan perdata (ditiadakan oleh Pasal 70 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
salah satu rekan atau patner dalam persekutuan perdata tersebut harus berdomisili di Indonesia dan memiliki tanda lulus ujian yang diselenggarakan oleh asosiasi Kurator dan pengurus Indonesia (AKPI).
2. Mengajukan permohonan pedaftaran secara tertulis sebagai Kurator dan pengurus kepada Direktur Jenderal Hukum Dan PerUndang-Undangan dengan cara mengisi formulir yang telah disediakan, dengan dilampiri:
a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku bagi perorangan atau keterangan domosili bagi persekutuan perdata;
b. Fotokopi NPWP;
c. Fotokopi Surat Tanda Lulus Ujian Kurator dan Pengurus;
d. Fotokopi Surat Tanda Keanggotaan Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI);
e. Surat Pernyataan.
1. Bersedia untuk membuka rekening di bank untuk setiap perkara kepailitan;
2. Tidak pernah dinyatakan pailit;
3. Tidak pernah menjadi anggota direksi dan komisaris yang dinyatakan bersalah karena menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan
4. Tidak pernah menjalani pidana karena melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih dari lima tahun.
Pemohon yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dapat didaftar sebagai Kurator dan pengurus, selambat-lambatnya tiga hari terhitung sejak seluruh persyaratan dipenuhi (Imran Nating, 2005:60-62).

2.7 Actio Pauliana
2.7.1 Pengertian Actio Pauliana
Kata-kata actio pauliana ini berasal dari orang Romawi, yang maksudnya menunjuk kepada semua upaya hukum yang digunakan guna menyatakan batal tindakan Debitor yang meniadakan arti Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu Debitor yang merasa bahwa ia akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum untuk memindahkan hak atas sebagian kekayaannya atau secara lain merugikan para Kreditornya
Actio pauliana (claw-back atau annulment of preferential transfer) adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh Debitor untuk kepentingan Debitor tersebut yang dapat merugikan kepentingan para Kreditornya. Misalnya, menjual barang-barangnya kepada pihak ketiga sehingga barang tersebut tidak dapat lagi disita dijaminkan oleh pihak Kreditor.
Pengaturan tentang actio pauliana dalam KUHPerdata terdapat di dalam Pasal 1341 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang.
(2) Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi.
(3) Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma-cuma oleh si berutang, cukuplah si berpiutang membuktikan bahwa si berutang pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahuinya atau tidak”.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur secara lebih komprehensif mengenai actio pauliana ini, mulai dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 49. lebih komprehensif dari ketentuan KUHPerdata maupun dalam Peraturan Kepailitan yang lama (S.1905-217 juncto S. 1906-348). Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan (Munir Fuady, 2005:87). Actio Pauliana merupakan sarana yang diberikan oleh Undang-Undang kepada tiap-tiap Kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang telah dilakukan oleh Debitor dimana perbuatan tersebut telah merugikan Kreditor (Jono, 2008:135).
Hak yang merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditor atas perbuatan Debitor yang dapat merugikan Kreditor. Hak tersebut diatur dalam oleh KUHPerdata dalam Pasal 1341, yaitu berupa tindakan Debitor yang karena merasa akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum memindahkan haknya atas sebagian dan harta kekayaannya yang dapat merugikan para Kreditornya.
Menurut Rudy A Lontoh & et.al (2001 : 302) bahwa penekanan Pasal 1341 KUHPerdata adalah: meskipun demikian, setiap orang berpiutang (Kreditor) boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan dilakukan oleh si berutang (Debitor) dengan nama apapun juga yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor), asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan, baik si berutang (Debitor) maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang (Debitor) itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang (Kreditor)

2.7.2 Syarat-Syarat Agar Dapat Dilakukan Actio Pauliana
Menurut Munir Fuady (2005:88) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 41 Angka (1) menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan.
Syarat-syarat actio pauliana menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 41 adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan actio pauliana tersebut untuk kepentingan harta pailit;
2. adanya perbuatan hukum dari Debitor;
3. Debitor tersebut telah dinyatakan pailit, jadi tidak cukup misalnya jika terhadap Debitor tersebut hanya diberlakukan penundaan kewajiban pembayaran utang;
4. perbuatan tersebut merugikan kepentingan (prejudice) Kreditor;
5. perbuatan tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan;
6. kecuali dalam dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, Debitor tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor;
7. kecuali dalam dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor;
8. perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum yang diwajibkan, yaitu tidak diwajibkan oleh perjanjian atau Undang-Undang, seperti membayar pajak misalnya.
Salah satu syarat sehingga actio pauliana dapat dilakukan adalah adanya suatu ”perbuatan hukum” yang dilakukan oleh Debitor. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah setiap tindakan dari Debitor yang mempunyai akibat hukum. Misalnya, Debitor menjual melakukan hibah atas hartanya itu, baik perbuatan tersebut bersifat timbak balik ataupun bersifat unilateral (berakibat luas kepada pihak-pihak lainnya).
Minimal ada 2 (dua) elemen yang harus dipenuhi agar perbuatan tersebut dapat disebut sebagai perbuatan hukum. Yaitu sebagai berikut:
1. berbuat sesuatu;
2. mempunyai akibat hukum (Munir Fuady, 2005:89).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, melakukan sesuatu yang tidak mempunyai akibat hukum atau tidak melakukan sesuatu, tetapi mempunyai akibat hukum tidak dianggap sebagai suatu perbuatan hukum sehingga tidak terkena actio pauliana.
Beberapa tindakan dibawah ini tidak dapat dibatalkan dengan actio pauliana karena tidak memenuhi elemen ”suatu perbuatan hukum” yaitu:
1. Debitor memusnahkan asetnya;
2. Debitor menolak menerima sumbangan atau hibah;
3. Debitor tidak mengeksekusi (tidak memfinalkan) suatu kontrak yang sudah terlebih dahulu diperjanjikannya (Munir Fuady, 2005:89).
2.7.3 Pengadilan yang Berwenang Memutus Actio Pauliana
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan menambah satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas Peradilan Umum yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kekuasaan Kehakiman.
Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap Pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan Peradilan Umum.
Tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ):
1. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit;
2. Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3. Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan Undang-Undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang syarat-syarat kepailitan. Ketentuan Pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
Kompetensi relatif Pengadilan Niaga merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitor yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya (Rudy A Lontoh & et. al, 2001 : 159).
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan Pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan Umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut (Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17).
Sesuai dengan isi kesimpulan hasil pembahasan Materi Rapat Kerja Akbar Nasional Mahkamah Agung R.I. dengan jajaran Pengadilan dari 4 (empat) lingkungan peradilan seluruh Indonesia tahun 2008, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan Pasal 3 ayat (1) dalam penjelasannya, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.
Hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk ”hal-hal lain” adalah sama dengan hukum acara perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya (http://click-gtg.blogspot.com/,diakses tanggal 10 Maret 2009).

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Latar Balakang Timbulnya Actio Pauliana Dalam Kepailitan
Putusan permohonan pernyataan pailit si Debitor telah diucapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga, maka sejak itu timbullah sejumlah akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor yang diberlakukan kepadanya oleh Undang-Undang. Akibat-akibat hukum tersebut berlaku kepada Debitor dengan 2 (dua) macam pemberlakuan, yaitu berlaku demi hukum (by the operation of law) dan berlaku secara Rule of reason (akibat hukum tidak berlaku secara otomatis)
Ada beberapa akibat hukum yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau segera setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal seperti ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditor, dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan peranan secara langsung untuk terjadinya akibat hukum tersebut. Misalnya, larangan bagi Debitor Pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal) seperti disebut dalam pasal 97 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sesungguhnya dalam hal ini pihak Hakim Pengawas masih mungkin memberi izin bagi Debitor Pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
Akibat–akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason. Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang semestinya mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalnya Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain, (Munir Fuady,2005: 61-62)
Akibat kepailitan yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini, harta Debitor Pailit dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas, jadi tidak terjadi secara otomatis. Reason untuk penyegelan ini adalah untuk pengamanan harta pailit itu sendiri. Untuk kategori akibat kepailitan berdasarkan rule of reason ini, dalam perundang-undangan biasanya (walaupun tidak selamanya) ditandai dengan kata “dapat” sebelum disebutkan akibat tersebut. Misalnya tentang penyegelan tersebut, Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa atas persetujuan Hakim Pengawas, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit dapat dilakukan penyegelan atas harta pailit.
Berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Seperti terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel Tentang Berlakunya Akibat Hukum Tertentu Dalam Proses Kepailitan Dengan Dasar Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

No. Jenis Tindakan Cara Terjadinya Dasar Hukum
1 Cekal Demi Hukum Pasal 96
2 Gijzeling Harus dimohonkan ke Pengadilan Niaga Pasal 93
3 Penyegelan Harus dimintakan ke Hakim Pengawas Pasal 99
4 Stay Demi Hukum Pasal 56 ayat (1)
5 Sitaan umum atas harta Debitor Demi Hukum Pasal 1 ayat (1)

Seperti telah disebutkan bahwa akibat hukum dari suatu kepailitan Debitor, adalah sebagai berikut:
1. Boleh dilakukan kompensasi piutang (set-off);
2. Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan;
3. Berlaku penangguhan eksekusi jaminan hutang (stay);
4. Berlaku sitaan umum atas seluruh harta Debitor;
5. Termasuk terhadap suami atau istri dalam kaitannya dengan persatuan harta;
6. Debitor kehilangan hak mengurus dalam kaitannya dengan kekayaannya;
7. Perikatan setelah Debitor pailit tidak dapat dibayar;
8. Gugatan hukum harus dilakukan oleh atau terhadap Kurator;
9. Perkara pengadilan ditangguhkan atau diambil alih oleh Kurator;
10. Jika Kurator dengan Kreditor berperkara, Kurator dan Kreditor dapat minta perbuatan hukum Debitor dibatalkan;
11. Pelaksanaan putusan Hakim dihentikan;
12. Semua penyitaan dibatalkan;
13. Debitor dikeluarkan dari penjara;
14. Uang paksa tidak diperlukan;
15. Pelelangan yang sedang berjalan dilanjutkan;
16. Balik nama atau pendaftaran jaminan hutang atas barang tidak bergerak dihentikan;
17. Daluwarsa dicegah;
18. Transaksi penyerahan barang (forward) dihentikan;
19. Sewa-menyewa dapat dihentikan;
20. Karyawan dapat di-PHK;
21. Warisan dapat diterima oleh Kurator atau ditolak;
22. Pembayaran hutang sebelum pailit oleh Debitor dapat dibatalkan;
23. Uang hasil penjualan surat berharga dikembalikan;
24. Pembayaran oleh Debitor sesudah pernyataan pailit dapat dibatalkan;
25. Teman sekutu Debitor Pailit berhak mengkonpensasikan hutang dengan keuntungan;
26. Hak retensi tidak hilang;
27. Debitor pailit dapat disandera (gijzeling) dan diberikan paksaan badan;
28. Debitor Pailit dilepas dari tahanan dengan atau tanpa uang jaminan;
29. Debitor Pailit demi hukum dicekal;
30. Harta pailit dapat disegel;
31. Surat-surat kepada Debitor pailit dapat dibuka oleh Kurator;
32. Barang-barang berharga milik Debitor pailit disimpan oleh Kurator;
33. Kurator jika memperoleh uang tunai dari Debitor/ harta Debitor harus disimpan di bank;
34. Penyanderaan dan pencekalan berlaku juga terhadap direksi;
35. Keputusan pailit bersifat serta merta;
36. Berlaku juga ketentuan pidana bagi Debitor;
37. Debitor Pailit, Direktur dan Komisaris perusahaan pailit tidak boleh menjadi Direktur atau Komisaris di perusahaan lain;
38. Hak-hak tertentu dari Debitor Pailit tetap berlaku;
39. Berlaku actio pauliana, (Munir Fuady, 2005: 61-64).
Semua akibat hukum yang telah disebutkan di atas, terdapat kemungkinan sebelum pernyataan pailit, pihak Debitor merugikan Kreditor-Kreditornya, misalnya secara tidak beritikad baik melakukan transaksi dengan mengalihkan aset-asetnya kepada pihak lain (pihak ketiga). Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 membolehkan pembatalan terhadap transaksi tersebut asalkan memenuhi syarat-syarat seperti yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka hal 24. Hal tersebut sering disebut dengan actio pauliana, yang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 50.
Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum Debitor tersebut, antara lain:
1. bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit;
2. bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan Debitor misalnya perbuatan hukum bersifat sepihak dan bersifat timbal balik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak Debitor bahwa perbuatan tersebut wajib dilakukan oleh Debitor;
3. bahwa Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor;
4. bahwa perbuatan tersebut dapat berupa:
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jatuh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
b. merupakan pembayaran atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
c. merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
1) suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2) suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka (1) adalah anggota Direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut , baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (limapuluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d. Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:
1) Anggota Direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota Direksi atau pengurus tersebut;
2) Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
3) Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
e. Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
1) Perorangan anggota Direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2) suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota Direksi atau pengurus Debitor juga merupakan anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3) Perorangan anggota Direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (limapuluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya;
4) Debitor adalah anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama atau tidak dengan suami atau istrinya, dan/atau para anak angkatnya, dan keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal disetor.
f. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya;
g. Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh Debitor dengan atau untuk kepentingan:
1) Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
2) Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menjelaskan bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap perbuatan hukum Debitor (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak Debitor Pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan Debitor apabila perbuatan hukum Debitor tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan Kreditor. Jadi, apabila Kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu misalnya jual-beli, hibah dan pemberian jaminan utang dari Debitor dengan pihak ketiga dalam jangka waktu satu tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan Kreditor, maka Debitor dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan Debitor dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan Kreditor atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator dengan membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut merugikan harta pailit.

3.2 Perbedaan Makna Actio Pauliana Dalam KUHPerdata Dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Asas Privity of Contract (asas personalia) terkandung dalam Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Asas Privity of Contract tidaklah berlaku secara kaku, dalam arti masih dimungkinkan untuk dikecualikan. Maksudnya adalah pihak-pihak yang tidak ikut terikat suatu perjanjian, dalam actio pauliana pihak tersebut menjadi terikat, dalam hal ini adalah pihak ketiga. Dalam Pasal 1341 KUHPerdata diatur mengenai actio pauliana yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka hal 22 dan 23. Ada satu unsur penting yang menjadi patokan dalam pengaturan actio pauliana dalam Pasal 1341 KUHPerdata, yaitu unsur iktikad baik (good faith). Pembuktian ada atau tidak adanya unsur iktikad baik menjadi landasan dalam menentukan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang tidak diwajibkan atau diwajibkan.
Jika dilihat dari Pasal 1341 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata, dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) macam perbuatan hukum yang tidak diwajibkan, antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan hukum yang bersifat timbal balik (Pasal 1341 ayat (1) KUHPerdata) yaitu suatu perbuatan hukum dimana ada dua pihak yang saling berprestasi. Contohnya: perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa.
b. Perbuatan hukum yang bersifat sepihak (Pasal 1341 ayat (2) KUHPerdata) yaitu suatu perbuatan hukum dimana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya : Hibah (Jono, 2008:136).

Lembaga perlindungan hak kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1341 KUHPerdata, yang dikenal dengan nama actio pauliana, memperoleh peraturan pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 41 sampai dengan pasal 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Menurut pasal 1341 KUHPerdata:
Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang.

Hak-hak yang diperoleh dengan itikad baik oleh pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi. Perlindungan yang diberikan berupa jaminan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Debitor dengan pihak ke tiga tersebut tidak dapat dibatalkan karena dalam actio pauliana yang menjadi kunci pokok dikabulkan adalah adanya unsur itikad tidak baik oleh Debitor Pailit. Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma- cuma oleh Debitor, Kreditor cukup membuktikan bahwa Debitor pada waktu melakukan perbuatan itu mengetahui bahwa dengan berbuat demikian merugikan para Kreditornya tanpa peduli apakah orang yang menerima keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak bahwa perbuatan Debitor tersebut merugikan para Kreditornya. Menurut Kartini Mulyadi dalam Sutan Remy Syahdeini (2009: 249) kata actio kadang-kadang dipertanyakan karena tidak perlu harus adanya tuntutan atau gugatan untuk membatalkan suatu tindakan pauliana, karena tindakan hukum itu memang batal (nietig) dan bukannya dapat dibatalkan (vernietigbaar). Selanjutnya Kartini Mulyadi dalam Sutan Remy Syahdeini (2009: 249) menyatakan, tidak perlu diajukan gugatan untuk menyatakan suatu tindakan pauliana batal, tetapi cukup Kurator menyatakan (inroepen) bahwa tindakan itu batal, asalkan Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat Debitor melakukan tindakan hukum tersebut, Kurator dan pihak dengan siapa Debitor melakukan tindakan tersebut mengetahui dan sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan itu akan merugikan Kreditor. Ketentuan mengenai actio pauliana di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merupakan ketentuan yang lazim ada pada bankruptcy law dari banyak negara. Pencantuman ketentuan ini yang dikenal pula dengan nama “claw back provition” atau actio pauliana, di dalam suatu Undang-Undang Kepailitan sangat perlu.
Actio pauliana yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata memperoleh ketentuan pelaksanaannya dalam Pasal 41 sampai dengan 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana dijelaskan dibawah ini. Sebagaimana telah dikemukakan Pasal 1341 KUHPerdata menentukan setiap Kreditor dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh Debitor dengan nama apapun yang merugikan para Kreditor sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik Debitor maupun pihak dengan atau untuk siapa Debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para Kreditor.
Menurut Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Menurut penjelasan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan “pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan” dalam ketentuan ini, termasuk pihak untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut diadakan.
Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan/atau karena Undang-Undang. Diberikan contoh dalam penjelasan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena Undang-Undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak. Seperti dikemukakan oleh Fred B.G. Tumbuan dalam Sutan Remy Syahdeini (2009: 250), apabila dicermati Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (yang isinya sama dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004) terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar actio pauliana berlaku. Persyaratan tersebut adalah:
a. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan Debitor;
c. Perbuatan hukum yang dimaksud telah merugikan Kreditor;
d. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor; dan
e. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Fred B.G. Tumbuan berpendapat, adalah tugas Kurator untuk membuktikan telah terpenuhinya kelima persyaratan tersebut, (Sutan Remy Syahdeini, 2009: 250).
Ketentuan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 itu, patut dipertanyakan bagaimana halnya apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan hanya Debitor yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, sedangkan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan ternyata beritikad baik. Hal ini tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 akan tetapi diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila Debitor itu adalah suatu perseroan terbatas, maka berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pengurus dari perseroan terbatas itu harus bertanggung jawab secara pribadi karena yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikat buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi.
Menurut pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, perbuatan tersebut adalah :
a. Merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
b. Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
c. Dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan :
1. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2. Suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah anggota Direksi atau Pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan :
1. Anggota Direksi atau Pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga dari anggota atau Pengurus tersebut;
2. Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
3. Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
e. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila :
1. Perorangan anggota Direksi atau Pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau Pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3. Perorangan anggota direksi atau Pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya;
4. Debitor adalah anggota direksi atau Pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5. Badan hukum yang sama, perorangan yang bersama-sama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal disetor.
f. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya;
g. Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal yang dilakukan oleh Debitor dengan atau untuk kepentingan :
1. Anggota Pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, dari anggota Pengurus tersebut;
2. Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
Penjelasan pasal 42 huruf c angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud ”anak angkat” adalah anak yang diangkat berdasarkan penetapan pengadilan maupun anak angkat berdasarkan hukum adat Debitor Pailit. Yang dimaksud dengan ”keluarganya” adalah hubungan yang timbul karena perkawinan atau keturunan baik secara horizontal maupun vertikal. Menurut penjelasan pasal 42 huruf c angka (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan ”anggota Direksi” adalah anggota Badan Pengawas. Atau orang yang ikut serta dalam kepemilikan, termasuk setiap orang pernah menduduki posisi tersebut dalam jangka waktu kurang dari satu tahun sebelum dilakukanya perbuatan tersebut,
Menurut penjelasan pasal 42 huruf d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan ”kepemilikan” adalah kepemilikan modal atau modal saham. Dalam penjelasan pasal 42 huruf e Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dikemukakan bahwa pengendalian adalah kemampuan umtuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan. Pihak yang memiliki saham yang besarnya 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara pada perseroan dianggap mengendalikan perseroan tersebut, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan tidak melakukan pengendalian, sedangkan pihak yang memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara pada perseroan dianggap tidak mengendalikan perseroan tersebut, kecuali yang bersangkutan dapat dibuktikan melakukan pengendalian.
Ketentuan pasal 42 huruf f Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menjelaskan bahwa suatu badan hukum yang merupakan anggota Direksi yang berbentuk badan hukum diperlakukan sebagai Direksi yang berbentuk badan hukum tersebut. Dengan ketentuan pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ini, maka bukan saja perbuatan hukum yang dilakukan setelah debitor dinyatakan pailit dapat dibatalkan, tetapi juga perbuatan hukum yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan dapat juga dibatalkan.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur dengan rinci jenis perbuatan hukum yang apabila dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan, dengan syarat :
1. Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitor;
2. Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditor; dan
3. Perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 huruf a sampai dengan g Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Menurut penjelasan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan ketentuan ini, kurator tidak perlu membuktikan bahwa penerima hibah tersebut mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Menurut Pasal 43 dalam hubungannya dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, hibah yang dilakukan debitor dapat dimintakan pembatalan oleh Kreditor pada Pengadilan Niaga, apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Menurut penjelasan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, dengan ketentuan ini kurator tidak perlu membuktikan bahwa penerima hibah tersebut mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Menurut Pasal 44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (oleh Debitor), Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Membedakan pengertian Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penerapannya adalah sebagai berikut :

No. Pasal 43 Undang-Undang 37 tahun 2004 Pasal 44 Undang-Undang 37 tahun 2004
1 berlaku untuk hibah yang dilakukan lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan berlaku bagi hibah yang dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan
2 Kurator yang harus membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor Debitor yang harus membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor tidak mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan bahwa:
1. Penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan, atau
2. Dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persengkokolan antara Debitor dan Kreditor (Kreditor tertentu) dengan maksud menguntungkan Kreditor tersebut melebihi Kreditor lainnya.
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali. Sementara itu Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, dalam hal pembayaran dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang yang mendapat keuntungan sebagai akibat diterbitkannya surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah utang yang telah dibayar oleh Debitor apabila :
1. Dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan; atau
2. Penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persengkokolan antara Debitor dan pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk pertama.
Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah bagi Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak disyaratkan bahwa putusan pernyataan pailit sudah diucapkan? Apa cukup syaratnya hanya apabila permohonan pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan. Artinya, pengajuan permohonan pembatalan tersebut tidak perlu harus menunggu sampai setelah terdapat putusan pernyataan pailit (Debitor belum berstatus sebagai Debitor Pailit).
2. Apakah berarti untuk utang yang sudah dapat ditagih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak berlaku ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Apabila diberlakukan pasal 41 itu pembatalan hanya dapat dimintakan apabila perbuatan hukum itu dilakukan oleh debitor yang telah dinyatakan pailit (telah berstatus sebagai debitor pailit).
3. Bagaimana halnya apabila penerima pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit sudah didaftarkan? Apakah dalam hal yang demikian itu maka pembayaran tersebut tidak dapat dibatalkan?
4. Bagaimana halnya bagi para kreditor yang bukan pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, (Sutan Remy Syahdeini, 2009: 255-256).
Yang harus atau berhak mengajukan permohonan pembatalan terhadap perbuatan pengalihan harta kekayaan debitor dijelaskan oleh Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Menurut Pasal 47 ayat (1) tersebut, tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dapat mengajukan bantahan terhadap tuntutan kurator yang dilakukan berdasarkan kewenangan kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 itu adalah sebagai konsekuensi dan sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa yang dapat mengajukan tuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 hanyalah Kurator. Tidak ada ketentuan yang memungkinkan bagi Kreditor untuk mengajukan tuntutan. Menurut penafsiran terhadap ketentuan Pasal 47 ayat (1) itu, apabila Kreditor menginginkan agar dilakukan permohonan pembatalan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Kreditor dapat memintanya kepada Kurator untuk mengajukan permintaan pembatalan tersebut. Timbul persoalan, bagaimana apabila ternyata Kurator menolak permintaan Kreditor tersebut? Bila kurator monolak, berarti timbul sengketa atau perbedaan pendapat antara Kreditor dan Kurator. Bila terjadi hal yang demikian, Kreditor sebaiknya meminta agar Hakim Pengawas mengambil sikap atas penolakan Kurator tersebut.
Menurut Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dalam hal kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian, tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 gugur. Namun demikian, menurut Pasal 48 ayat (2), tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak gugur, jika perdamaian tersebut berisi pelepasan atas harta pailit, untuk itu tuntutan dapat dilanjutkan atau diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan Kreditor. Para pemberes harta yang dimaksudkan dalam pasal 48 ayat (2) itu dalam penjelasannya tidak mengemukakan apa-apa. Mengingat ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang mengatur mengenai tugas kurator, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan para pemberes harta adalah para Kurator. Tidak ada kejelasan alasan dalam Pasal 48 ayat (2) tidak disebutkan saja para Kurator dan bukannya para pemberes harta sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kebingungan.
Akibat pembatalan perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap orang yang telah menerima pengalihan atas bagian harta kekayaan Debitor Pailit. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan:
Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian harta Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas.

Orang yang disebut terakhir itu apabila tidak dapat mengembalikan benda yang telah diterimanya dalam keadaan seperti semula, menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ia wajib memberikan ganti rugi kepada harta pailit itu. Namun demikian, menurut Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam hal hak pihak ketiga atas benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperoleh dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma, harus dilindungi. Ketentuan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1341 ayat (2) KUHPerdata. Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (3), yang dimaksud dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma termasuk juga pemegang hak agunan atas benda tersebut.
Menurut Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, benda yang diterima oleh Debitor atau nilai penggantinya, wajib dikembalikan oleh Kurator sejauh harta pailit diuntungkan, sedangkan untuk kekurangannya (apabila penerimaan tersebut nilainya masih berada dibawah nilai piutangnya), orang terhadap siapa pembatalan tersebut dituntut dapat tampil sebagai Kreditor Konkuren (untuk kekurangan tersebut). Istilah yang dipakai dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah benda yang merupakan bagian dari harta Debitor atau hanya disebut benda dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak pada keterangan apapun mengenai apa yang dimaksudkan dengan benda. Mereka yang terkait dengan pelaksanaan atau penerapan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 akan menjadi bingung apabila menafsirkan pengertian benda secara sempit, yaitu hanya terbatas kepada atau diartikan sebagai barang. Pengertian benda di dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 harus diberikan pengertian yang tidak sekadar dalam pengertian barang, tetapi harus diartikan sama dengan perbuatan hukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sama dengan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dan sama dengan pembayaran suatu utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Ketentuan Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu ketentuan yang mewajibkan Kurator untuk mengembalikan benda yang diterima oleh Debitor atau nilai penggantinya sejauh harta pailit diuntungkan, timbul pertanyaan : Apakah kewajiban untuk mengembalikan itu tetap berlaku apabila dengan pengembalian tersebut justru harta pailit dirugikan? untuk lebih jelas dapat digambarkan keadaan sebagai berikut: Debitor pailit, beberapa bulan sebelum dinyatakan pailit membeli rumah beserta tanahnya dengan harga Rp 3.000.000.000,-. Kurator wajib mengembalikan rumah tersebut kepada penjual dengan mengembalikan harga pembeliannya yaitu Rp 3.000.000.000,- apabila harga rumah tersebut turun. Oleh karena harganya turun, seandainya rumah itu tetap dipertahankan sebagai harta pailit (tidak dikembalikan kepada penjual), tentu saja kurator tidak mungkin memperoleh harga sebesar Rp 3.000.000.000,- (harga pembelian) pada saat kurator melakukan tindakan pemberesan (likuidasi). Dengan demikian, pengembalian barang tersebut menguntungkan harta pailit. Namun demikian, sebaliknya apabila ternyata harga rumah itu naik, maka kurator tidak wajib (bahkan dilarang) mengembalikan barang tersebut karena perbuatan itu hanya akan merugikan harta pailit.
Wajibkah penjual rumah dalam contoh di atas mengembalikan harga rumah sebesar Rp 3.000.000.000,- sedangkan ia mengetahui bahwa harga rumah telah turun di pasaran? Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Pasal 1341 KUHPerdata, kewajiban untuk mengembalikan harga rumah itu sebesar nilainya semula, yaitu sebesar Rp 3.000.000.000,-, hanya berlaku bagi penjual apabila beritikad tidak baik, misalnya penjual bersekongkol dengan debitor dalam melakukan jual beli rumah itu, sedangkan ia mengetahui bahwa debitor telah berada dalam keadaan kesulitan keuangan yang dapat mengarah kepada kepailitan dan perbuatan penjualan rumah itu dapat merugikan para kreditor. Sebaliknya berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, penjual tidak wajib mengembalikan uang itu apabila dalam menjual rumah itu ia beritikad baik. Dalam hal penjual beritikad baik, ia harus dilindungi.
Uraian yang telah dikemukakan di atas, yaitu uraian tentang Pasal 41 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, adalah menyangkut pembatalan perbuatan debitor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Berikut ini adalah uraian mengenai pembatalan perbuatan debitor sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur mengenai pembayaran piutang debitor pailit yang dilakukan oleh kreditornya sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan. Bunyi lengkap Pasal 50 adalah sebagai berikut :
Pasal 50
1. Setiap orang yang sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan tetapi belum diumumkan, membayar kepada Debitor pailit untuk memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut.
2. Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan sesudah putusan pernyataan pailit diumumkan, tidak membebaskan terhadap harta pailit kecuali apabila yang melakukan dapat membuktikan bahwa pengumuman putusan pernyataan pailit yang dilakukan menurut undang-undang tidak mungkin diketahui di tempat tinggalnya.
3. Pembayaran yang dilakukan pada Debitor pailit, membebaskan Debitornya terhadap harta pailit, jika pembayaran itu menguntungkan harta pailit.

Perlu kiranya diberi uraian mengenai ketentuan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Menurut ketentuan Pasal 50 ayat (3) tersebut pembebasan debitor pailit terhadap harta pailit dari pemenuhan kewajiban pembayaran hanya berlaku sepanjang pemenuhan kewajiban pembayaran tersebut yang diterima oleh debitor pailit, dapat menguntungkan harta pailit tersebut. Ketentuan ini merupakan kebalikan dari ketentuan Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Dapat diambil contoh yang merupakan kebalikan dari contoh ketika kita membahas Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Misalnya, Debitor sesudah dinyatakan pailit menjual rumah beserta tanahnya dengan harga Rp 3.000.000.000,-. Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, kurator wajib mengembalikan pembayaran sebesar Rp 3.000.000.000,- itu kepada pembeli apabila harga rumah naik. Dengan memperoleh kembali rumah tersebut, kurator akan memperoleh harga yang lebih tinggi dalm proses kepailitan (likuidasi). Apabila harga rumah turun, akan lebih menguntungkan bagi harta pailit apabila kurator tidak mengembalikan harga penjualan rumah itu.
Apabila rumah tersebut telah berpindah tangan kepada pihak lain, maka menurut ketentuan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Pasal 1341 KUHPerdata, keterikatan pembeli rumah untuk mengembalikan rumah tersebut dan menerima harga semula adalah tergantung kepada itikad baik pembeli. Apabila pembeli memang beritikad baik, yaitu pembeli dapat membuktikan bahwa pada saat jual beli rumah tersebut dilakukan, pembeli tidak mengetahui atau sepatutnya memang tidak mungkin mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan mengakibatkan kerugian bagi para kreditor (hal itu mungkin saja terjadi karena ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diberlakukan dalam hal putusan pernyataan pailit yang telah diucapkan oleh hakim pengadilan niaga belum diumumkan), maka pembeli tidak berkewajiban untuk mengembalikan rumah tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila telah diumumkan maka pembeli berkewajiban untuk mengembalikan rumah tersebut

3.3 Akibat Hukum Dari Actio Pauliana Dalam Kepailitan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan tersebut dapat dimintakan batal, dalam hal ini tentunya oleh pihak Kurator dari si Debitor Pailit. Jika Debitor menjual suatu barang secara yang dapat dikenakan actio pauliana, jual beli tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Niaga atas permohonan Kreditor dan karenanya barang tersebut harus dikembalikan kepada si Debitor Pailit. Jika barang tersebut karena sesuatu dan lain hal tidak dapat dikembalikan lagi, menurut Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pihak pembeli wajib memberikan ganti rugi kepada Kurator.
Bagitu pula dengan harga barang yang telah diterima oleh Debitor Pailit. Harga barang tersebut akan dikembalikan oleh pihak Kurator dengan syarat:
1. jika dan sejauh harga barang tersebut telah bermanfaat bagi harta pailit;
2. jika ada tersedia harga barang tersebut.
Harga barang tersebut jika tidak tersedia atau tidak cukup tersedia lagi, pihak ketiga tersebut (pihak pembeli) hanya menjadi Kreditor konkuren dan akan mendapatkan haknya nanti ketika dilakukan pemberesan dan pembagian harta pailit, sesuai dengan Pasal 49 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Sebelum pembatalan jual beli dengan actio pauliana jika pihak pembeli telah mengalihkan barang tersebut kepada pihak lain, dalam hal ini harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. apakah pengalihan barang tersebut oleh pihak pembeli kepada pihak ketiga lainnya dilakukan dengan perbuatan timbal balik, misalnya jual beli. Jika misalnya pihak penerima hak yang baru tersebut hanya menerima hak secara hibah atau hadiah, tidak alasan untuk melindungi pihak yang menerima hibah atau hadiah tersebut. Apabila yang dilakukan adalah jual beli (jadi merupakan jual beli kedua), harus dilihat pada faktor kedua point tersebut;
2. apakah jual beli kedua (dari pembeli pertama kepada pembeli kedua) dilakukan dengan itikad baik (misalnya dilakukan dengan harga pasar). Apabila dilakukan dengan itikad baik, maka pembelidengan itikad baik tersebut harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada alasan untuk melindungi pihak pembeli tidak dengan itikad baik misalnya membeli dengan harga dibawah harga pasar, (Munir Fuady, 2005: 94-95).
Barang yang telah dijual kembali oleh pembeli pertama kepada pembeli lain (pembeli kedua) yang beritikad baik, tidak berarti si pembeli pertama terlepas dari kewajibannya berdasarkan actio pauliana. Apabila pembeli pertama tidak dapat mengembalikan lagi barang tersebut kepada harta pailit, dia harus memberikan ganti rugi dalam bentuk uang atau dalam bentuk-bentuk lain apapun yang senilai dengan uang ganti kerugian yang dapat diterima oleh pihak Kurator (pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Begitu pula jika actio pauliana tersebut dilakukan terhadap perbuatan yang berupa pemberian jaminan hutang kepada pihak kreditor tertentu. Dalam hal ini, apabila actio pauliana diterima oleh hakim, sebagai konsekwensinya pihak bank yang diberikan hak jaminan tersebut akan kehilangan atau dibatalkan hak jaminannya, (Munir Fuady, 2005:95).
Perlu juga ditekankan bahwa kompensasi dalam actio pauliana terserah pada pertimbangan Kurator. Misalnya, jika harga pasaran barang adalah Rp. 2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah), tetapi dijual dibawah harga, yakni Rp. 1.500.000.000,00 ( satu miliar limaratus juta rupiah), dan untuk itu dapat dibatalkan dengan actio pauliana. Jika pihak pembeli bersedia untuk melakukan kompensasi dengan menambah kekurangan sebanyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah) lagi, adalah terserah kepada Kurator untuk menerima tambahan harga tersebut atau tidak. Biasa saja dalam hal-hal tertentu memang lebih menguntungkan harta pailit atau lebih praktis jika barang tersebut tetap dijual kepada pembeli tersebut dengan menambah harga yang kurang. Akan tetapi ini tentu bukan lewat skenario actio pauliana, karena dengan actio pauliana yang ditekankan adalah unsur membatalkan transaksi (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
Jadi tujuan utama dilakukan actio pauliana adalah untuk memintakan batal atas segala perbuatan yang telah dilakukan Debitor Pailit. Perbuatan hukum Debitor yang dapat dibatalkan adalah perbuatan hukum yang dilakukan satu tahun sebelum adanya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga yang dinilai dan dibuktikan telah merugikan Kreditor dalam hubungannya dengan harta pailit sesuai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Biasanya perbuatan yang dilakukan oleh Debitor dengan pihak ketiga adalah jual-beli, pemberian jaminan utang kepada pihak Kreditor tertentu, hibah, dan lain sebagainya yang pada akhirnya apabila hal tersebut telah terbukti merugikan pihak Kreditor maka perbuatan tersebut akan dibatalkan dan seluruh kerugian yang ditanggung pihak Kreditor akan menjadi tanggung jawab Debitor dengan pihak lain yang turut serta melakukan perjanjian dalam kondisi Debitor akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan.

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Latarbelakang timbulnya actio pauliana adalah adanya putusan permohonan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga yang menimbulkan 2 (dua) macam akibat hukum yang berlaku kepada Debitor yaitu berlaku demi hukum (by the operation of law) dan ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu (Rule of Reason). Salah satu akibat hukum tersebut, terdapat kemungkinan sebelum pernyataan pailit, pihak Debitor merugikan Kreditor-Kreditornya, misalnya secara tidak beritikat baik melakukan transaksi dengan mengalihkan aset-asetnya kepada pihak ketiga. Dalam hal ini Undang-Undang membolehkan dilakukan actio pauliana terhadap transaksi tersebut asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang.
2. Tidak ada perbedaan makna actio pauliana yang terdapat dalam Pasal 1341 KUHPerdata dan dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 49 Undang Nomor 37 Tahun 2004. Pasal 1341 KUHPerdata merupakan tinjauan actio pauliana secara umum dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 1341 KUHPerdata yang merupakan tinjauan actio pauliana secara khusus. Pasal 1341 KUHPerdata dan Pasal 41 sampai dengan Pasal 49 Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut membolehkan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang dinilai telah merugikan kepentingan Kreditor dengan syarat-syarat yang telah diatur Undang-Undang
3. Akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan Debitor Pailit yang dinilai telah merugikan kepentingan Kreditor yang secara dapat dikenakan actio pauliana dapat dimintakan batal. Debitor menjual suatu barang secara yang dapat dikenakan actio pauliana, jual beli tersebut dibatalkan dan barang tersebut harus dikembalikan kepada si Debitor Pailit. Jika barang tersebut karena sesuatu dan lain hal tidak dapat dikembalikan lagi, menurut Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pihak pembeli wajib memberikan ganti rugi kepada Kurator. Jika actio pauliana tersebut dilakukan terhadap perbuatan yang berupa pemberian jaminan hutang kepada pihak kreditor tertentu, dalam hal ini, apabila actio pauliana diterima oleh hakim, sebagai konsekwensinya pihak bank yang diberikan hak jaminan tersebut akan kehilangan atau dibatalkan hak jaminannya. Perlu juga ditekankan bahwa kompensasi dalam actio pauliana terserah pada pertimbangan Kurator. Akan tetapi ini tentu bukan lewat skenario actio pauliana, karena dengan actio pauliana yang ditekankan adalah unsur membatalkan transaksi (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004)

4.2 Saran
Saran yang diberikan dalam tulisan ini yaitu:
1. Untuk menghindari terjadinya actio pauliana, hendaknya Debitor yang telah dijatuhi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga menghormati dan tidak melakukan tindakan yang merugikan kepentingan Kreditor dengan tidak beritikat baik mengalihkan aset-asetnya kepada pihak lain.
2. Makna yang terkandung dalam KUHPerdata maupun dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hendaknya diperhatikan dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terkait baik Kreditor, Debitor Pailit, Kurator, Hakim Pengawas maupun Pihak lain dalam hal ini pihak ketiga agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar.
3. Akibat hukum yang timbul karena adanya actio pauliana hendaknya ditaati oleh semua pihak yang terkait baik Kreditor, Debitor Pailit, Kurator, Hakim Pengawas maupun Pihak lain dalam hal ini pihak ketiga karena seorang Hakim dalam mengeluarkan suatu putusan yang mempunyai akibat hukum sudah berdasarkan pertimbangan hukum yang matang untuk tujuan keadilan.
DAFTAR BACAAN


Abdulkadir Muhammad, 1996, Hukum Perseroan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Adrian Sutedi, 2008, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger Likuidasi dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.

A. Qirom Syamsudin Meliala, 1985, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Fakultas Hukum Universitas Jember, 2006, Pedoman Penulisan Proposal Penelitian dan Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember.

Hasanuddin Rahman, 1998, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The bankers hand book), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Imran Nating, 2005, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT Raja Grafindi Persada, Jakarta.

Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.

J Satrio, 2007, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Man S Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung.

Martiman Prodjohamidjojo, 1999, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, CV Mandar Maju, Jakarta.

Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung.

M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian,Alumni, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung.

Rahayu Hartini, 2008, Hukum Kepailitan, Departemen Pendidikan Nasional.
Rudhy A Lontoh, & et, Al. (editor), 2001, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni Bandung.

R Wirjono Projodikoro, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian. CV Mandar Maju. Jakarta

Subekti,1979, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Interamasa, Jakarta.

Sudargo Gautama, 1998, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hasil Penelitian

Liliek Istiqomah, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis Dalam Eksekusi Hak Tanggungan, Lembaga Penelitian Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember.

Internet

http.//hernathesis,multiply,com/reviews/item/16 [diakses tanggal 10 Maret 2009]

http.//library,usu,ac,id/download/fh/perdata-zulfichairi2,pdf [diakses tanggal 10 Maret 2009]
http://click-gtg.blogspot.com/,[diakses tanggal 10 Maret 2009]